HATALLA SINTA (Kasih Allah)
Views: 0
Salamat hasundau uras pahari hong aran Tuhan itah Yesus Kristus, Syalom Alekhem.
Kita berjumpa kembali pada minggu terakhir Bulan Budaya GKI Kwitang. Kita mengenal pulau Kalimantan yang memiliki kekayaan flora dan fauna, berbagai suku, bahasa, dan budaya, serta karya seni yang indah, seperti rumah adat, pakaian adat, seni musik, seni tari, seni rupa, senjata, dsb.
Saat ini secara khusus kita mengangkat budaya suku Dayak. Hari ini kita merenungkan Firman Tuhan yang berjudul HATALLA SINTA (Kasih Allah). Saya akan membacakan Firman Tuhan dalam bahasa Dayak Ngaju, diambil dari 1Yohanes 4:9 atau Ije Yohanes pasal epat ayat ije jalatien:
“Hatalla mansanan, ie sinta itah hayak manyoho Anake je tonggal akan kalunen mangat itah mandin/ pambelom mahalau Anake te.” (Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya).
Demikianlah Firman Tuhan. Berbahagialah setiap orang yang mendengar Firman Tuhan dan yang memeliharanya.
Saudara-saudara, mari kita mengenal suku Dayak. Suku Dayak terbagi dalam beberapa rumpun besar, yaitu Punan, Klemantan, Murut, Iban, Ot Danum-Ngaju, dan Apokayan. Masyarakat Dayak terkenal dengan keramahannya. Ada banyak keunikan yang ditemukan pada suku Dayak, antara lain tato khas Dayak, yang merupakan salah satu warisan tato tertua di dunia yang dilestarikan. Suku Dayak juga memiliki senjata khas yang bernama Mandau dan Sumpit Beracun. Dahulu masyarakat Dayak menganut paham animisme, mereka menyembah roh leluhur dan sering melakukan ritual pemujaan roh.
Puji Tuhan, umat Kristen Kalimantan sangat bersyukur karena Allah yang Maha kasih telah menyatakan kasih-Nya kepada mereka. Mereka telah menerima Injil keselamatan. Fridolin Ukur, dalam bukunya “Tuaiannya Sungguh Banyak”, menceritakan sejarah Gereja Dayak Evangelis. Diawali pada tahun 1830-an sebuah lembaga Pekabaran Injil yang bernama: Rheinische Missions Gesellschaft (RMG) atau Zending Barmen memutuskan untuk mengutus Missionaris ke Borneo/ Kalimantan.
Maka pada tanggal 26 Juni 1835 Missionaris J.H. Barnstein tiba di Banjarmasin. Di situlah ia menetapkan sebagai pangkalan pos pekabaran Injil. Ada hal yang menarik, ketika Barnstein masuk daerah suku Dayak yang jaraknya dekat dengan Banjarmasin. Dalam perjalannya, di sebuah kampung bernama Gohong (Kahayan), Barnstein “diangkat menjadi saudara sedarah” (hangkat hampahari hatunding daha) oleh kepala suku Dayak setempat. Sejak itu Barnstein dianggap sebagai saudara sedarah suku Dayak.
Lalu, pada tanggal 3 Desember 1836, tiba lagi tiga orang penginjil, yaitu Becker, Hupperts, serta Krusman dan langsung ditempatkan di wilayah pedalaman Kalimantan. Dalam perkembangan perkabaran Injil, Barnstein disebut bekerja dan menjalin kekerabatan dengan segala golongan dan suku di Banjarmasin, baik itu Muslim, Kaharingan, orang kulit putih, maupun Tionghoa.
Meskipun Barnstein sudah tiada, pekabaran Injil terus berlanjut di tanah Kalimantan hingga abad ke-20. Pasang surut terjadi ketika meletus Perang Dunia I, di mana RMG menyerahkan tugas pemberitaan Injil ke Zending Basel di Swiss pada tahun 1920. Selain untuk pelayanan peribadatan ke orang-orang Dayak, Zending Basel juga membawa misi pendidikan dan kesehatan. Zending Basel turut mendirikan Sekolah Teologia pada tahun 1932 di Banjarmasin dan membidani lahirnya organisasi Gereja Dayak Evangelis, sekarang menjadi Gereja Kalimantan Evangelis atau GKE pada 4 April 1935.
Pada awal misinya, Zending Basel memiliki hubungan yang baik dengan Kesultanan Banjar yang bercorak Islam. Kesultanan kala itu bahkan memberikan lahan untuk pembangunan gereja kepada para misionaris. Di atas lahan itu pun tak hanya didirikan gereja, tetapi juga seminari, sekolah dan asrama guru, yang saat ini berada di seberang gereja. Indah sekali tolerensi beragama di Kalimantan! Semuanya itu dapat terjadi karena kasih Allah yang luar biasa. Amin, Saudara?
Seperti pujian yang dipersembahkan oleh sebuah keluarga anggota jemaat GKI Kwitang berjudul: Hatalla Sinta , syair lagu aslinya berjudul Gott ist die Liebe ciptaan oleh August Rickle , yang diterjemahkan oleh Yamuger.
Di kalangan suku Dayak pujian Hatalla Sinta telah menjadi berkat dan menguatkan banyak orang. Nyanyian ini diciptakan berdasarkan Surat 1Yohanes 4 hendak bersaksi tentang “Yang Mahakasih yaitu Allah. Allah Pengasih pun bagiku. Aku selamatlah oleh kasih-Nya. Oleh kasih-Nya kepadaku.” “Aku selamat oleh kasih-Nya”, menyadarkan kita bahwa kita adalah orang yang berdosa, yang tidak mungkin bebas dari kuasa dosa. Kuasa dosa itu bagai rantai yang mengikat, sehingga kita tak mungkin lepas dari maut. Namun Allah yang Mahakasih telah menyatakan kasih-Nya di tengah-tengah kita. Allah telah mengutus Anak-Nya yang Tunggal untuk menjadi Penebus kita. Tuhan Yesus membebaskan kita dari maut. Sehingga kita beroleh selamat oleh karena kasih-Nya.
Puji Tuhan!
Saudara-saudara, meskipun perjalanan hidup kita makin sulit di masa pandemi ini, namun marilah kita tetap berharap kepada Tuhan Allah Yang Mahakasih, agar kita beroleh kekuatan dan keselamatan dari pada-Nya.
Hatalla Sinta kalonen jetoh! Amin.
Mari kita berdoa:
Allah Bapa yang Mahakasih, meskipun perjalanan hidup kami semakin berat, tetapi kami mau tetap percaya dan mengandalkan Tuhan, supaya kami mampu menjalani hidup ini dengan kasih-Mu. Dalam situasi pandemi ini, kami berdoa kiranya Tuhan menyembuhkan Saudara-saudara yang sakit, yang sedang isolasi mandiri atau dirawat di rumah sakit. Kiranya Tuhan memberi damai sejahtera bagi Masyarakat Kalimantan, dan Indonesia pada umumnya. Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.
Tuhan Yesus mamberkat pahari samandiai.
(AM 29072021)