CERITA DI BALIK LEMPER
Views: 0
CERITA DI BALIK LEMPER
Bacaan: Roma 14:10
“Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah”.
Salam sehat penuh rahmat, Tuhan sertamu!
Lemper menjadi salah satu jenis jajanan pasar yang ada di dalam snack box yang saya terima saat acara reuni alumni SMP Kristen beberapa waktu yang lalu. Janjanan berbahan dasar beras ketan dengan isian daging cincang atau abon atau serundeng, serta dibungkus dengan daun pisang ini menjadi salah satu jenis jajanan tradisional yang cukup merakyat. Dan jika saya tidak salah, sepertinya lemper memang menjadi jajanan yang kerap disajikan saat acara kumpul-kumpul banyak orang, seperti: arisan, rapat, reuni dan lain sebagainya.
Dari berbagai sumber, saya mencoba menggali makna dan cerita di balik lemper ini. Ada beberapa pelajaran indah yang dapat diperoleh di balik jajanan lemper ini. Pertama, lemper dibungkus daun pisang. Di luar memang tampak sederhana bahkan mungkin buruk, namun di dalamnya terkandung rasa enak dan kenikmatan. Don’t judge the book by it’s cover, demikian kira-kira maksud dari pembungkus lemper itu. Untuk dapat menyantap lemper dan menikmati rasanya, maka pembungkusnya harus dibuka terlebih dahulu. Daun pisang pembungkus lemper ini bisa juga dimaknai sebagai kesediaan untuk terlebih dahalu mengupas atau membuang keburukan demi menemukan dan merasakan kebaikan atau kenikmatan. Apa yang akan kita rasakan bila kita memakan lemper tanpa membuang bungkusnya, tentu tidak enak, bukan?
Kedua, bahan dasar lemper, yaitu: beras ketan. Bahan dasar lemper sengaja dipilih dari beras ketan karena memiliki tekstur yang lengket. Kata ‘ketan’ di dalam bahasa Jawa merupakan kérata basa atau akronim dari ‘ngraketaken paseduluran’ atau merekatkan persaudaraan. Oleh sebab itulah maka jajanan lemper ini kerap disajikan dalam acara-acara yang melibatkan banyak orang, dengan harapan agar tali persaudaraaan tetap terpelihara.
Ketiga, makna nama lemper. Kata lemper juga merupakan kérata basa atau akronim dari ‘yen dialem atimu ojo mémper”, yang artinya: apabila dirimu dipuji atau disanjung oleh orang lain, janganlah sombong atau besar kepala. Sebagai mahluk sosial, maka perjumpaan dan interaksi antar manusia tentu tidak dapat dihindari. Dalam suasana silaturahmi di mana masing-masing pribadi yang lama tidak bertemu, saling memuji dan menyanjung di antara saudara atau teman merupakan hal yang mungkin terjadi. Oleh karna itu, jajanan lemper ini hendak mengingatkan tentang kerendahan hati.
Saudaraku, perjumpaan antar manusia bisa terjadi di manapun dan kapanpun. Namun demikian, kita mesti tetap memelihara relasi dan persaudaraan itu tanpa kesombongan atau memandang rendah orang lain. Ketika menjumpai sikap sebagian anggota jemaat di Roma yang mengganggap rendah saudara seiman karena mempunyai sikap tertentu terhadap makanan, maka Rasul Paulus memberikan nasihat, “Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah”. Menjadi pengikut Kristus memang membuhkan sikap iman yang dewasaa tanpa merendahkan yang lain, sebab setiap orang memiliki tingkat pertumbuhan iman yang berbeda-beda. Bila persaudaraan dan kerendahan hati tetap dipelihara dan dipraktikkan dengan baik, maka niscaya Nama Tuhan akan dimuliakan dan Gereja Tuhan juga akan bertumbuh.
Kembali pada jajajan lemper tadi. Ternyata lemper bukan hanya sekedar makanan yang memanjakan lidah; melainkan juga kaya akan makna, terutama tentang persaudaraan, kerendahan hati dan tidak saling menghakimi. Kiranya ceria di balik lemper ini selalu mengingatkan kita akan nasihat rasul Paulus tadi. Selamat berjuang, Saudaraku, Tuhan Yesus memberkati.
Salam: Guruh dan keluarga.
Doa:
Terimakasih, ya Tuhan, Engkau telah mengingatkan kami kembali tentang kerendahan hati dan persaudaraan. Tolonglah kami agar dapat mewujudkannya di dalam kehidupan kami. Terpujilah Nama-Mu, ya Tuhan Yesus. Amin.