SATE KÉRÉ
Views: 0
Bacaan: Amsal 8:12-13
”Aku, hikmat, tinggal bersama-sama dengan kecerdasan, dan aku mendapat pengetahuan dan kebijaksanaan. Takut akan TUHAN ialah membenci kejahatan; aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh tipu muslihat”.
Salam sehat penuh rahmat, Tuhan sertamu!
Sate kéré adalah sebutan untuk salah satu kuliner khas kota Solo yang terbuat dari tempe gembus atau jeroan sapi. Oh ya, tempe gembus adalah tempe yang dibuat dari ampas tahu. Pendek kata, sate kéré ini dibuat dari apa yang sudah tidak digunakan atau dianggap sebagai limbah bagi orang-orang kaya di zaman penjajahan. Sate kéré dihidangkan dengan pelengkap bumbu kacang atau sambal kecap seperti bumbu sate pada umumnya.
Istilah kéré berarti miskin, yang menunjuk pada masyarakat kelas bawah. Pada zaman dahulu, hanya kalangan masyarakat kelas atas sajalah yang dapat menikmati sate daging. Atas keadaan ini, maka masyarakat kelas bawah membuat terobosan dengan membuat bentuk lain dari sate dengan bahan dasar tempe gembus atau jeroan sapi. Cara ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat kelas bawah agar dapat menikmati kuliner sate. Latar belakang inilah yang membuat kuliner ini diberi nama ‘sate kéré’ – alias satenya orang miskin. Secara sosiologis, sate kéré ini merupakan wujud perlawanan terhadap budaya feodal yang sengaja diciptakan oleh penjajah untuk mengkotak-kotakkan masyarakat. Bila budaya feodal itu membuat pembedaan yang jelas antara masyarakat atas dan bawah, maka sate kéré ini mengusung semangat egalitarian – di mana semua manusia sama.
Perlawanan tanpa kekerasan terhadap feodalisme melalui olah kebijaksanaan dan kreatifitas ini ternyata berdampak besar. Sekarang ini sate kéré terbukti memang dapat menyatukan masyarakat berbagai kelas agar duduk bersama tanpa perbedaan untuk menikmati kuliner serta mendapatkan pelayanan yang sama. Banyak warung sate kéré yang menjadi langganan bagi para politisi, pengusaha, artis, para wisatawan, bahkan Presiden sekalipun.
Daya guna kreatifitas sehingga tercipta sate kéré ini mengingatkan kita akan nasihat Amsal terkait dengan hikmat. Pada hakikatnya hikmat ini menunjuk pada makna kebijaksanaan, pengertian, pengetahuan, dan kecerdasan dalam konteks bagaimana agar kita senantiasa mampu hidup dalam rasa takut akan TUHAN. Hikmat di sini merupakan nilai-nilai spiritualitas yang terhayati dalam totalitas hidup seseorang, sehingga kehidupannya senantiasa dipimpin oleh kebenaran yang bersumber pada kehendak Allah. Oleh sebab itulah Penulis Amsal menyampaikan, ”Aku, hikmat, tinggal bersama-sama dengan kecerdasan, dan aku mendapat pengetahuan dan kebijaksanaan. Takut akan TUHAN ialah membenci kejahatan; aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh tipu muslihat”. Penulis Amsal memberikan petunjuk bahwa bentuk praktis dari etis-moral makna takut akan Tuhan adalah tindakan “membenci kejahatan, kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh tipu muslihat”.
Oleh karena itu, bila kita memiliki hikmat, maka kita mesti berani untuk peka dan kritis terhadap situasi dan kondisi saat ini serta kreatif dalam upaya mencari jalan keluar. Hikmat akan menuntun dalam membuat jalan keluar yang bijaksana. Namun hikmat pasti menolak kebijaksanaan yang menjadi kebiasaan. Hikmat akan terus berjuang tanpa kekerasan demi tegaknya keadilan dan kebenaran. Kiranya sate kéré menjadi inspirasi agar kita dapat senantiasa berhikmat di dalam menyikapi situasi dan kondisi yang ada, kapan dan di mana saja. Selamat berjuang, Tuhan Yesus memberkati.
Salam: Guruh dan keluarga.
Doa:
Terimakasih, ya Tuhan, karena mengingatkan kami tentang anugerah hikmat yang telah Engkau berikan. Kami rindu agar tetap memelihara hidup yang takut akan Tuhan. Kiranya Roh Kudus menolong kami. Di dalam Nama Tuhan Yesus, kami sudah berdoa. Amin.