CERITA DI BALIK TAHU
Views: 0
Bacaan: I Korintus 9:19
“Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang”.
Salam sehat penuh rahmat, Tuhan sertamu!
Saudaraku, kali ini kita akan belajar tentang hal baik yang dapat diambil dari tahu. Ya, betul. Tahu! Tahu adalah makanan yang dibuat dari endapan perasan biji kedelai yang mengalami koagulasi. Saya yakin bahwa Anda semua tentu tahu tentang makanan tahu ini.
Menurut catatan sejarah tahu sudah dimulai di China kurang lebih 3000 tahun yang lalu. Kata tahu sendiri berasal dari bahasa china, yaitu tao – hu / teu hu. Tao / teu berarti kacang kedelai, sedangkan hu berarti hancur menjadi bubur. Jadi tahu bermakna makanan yang berasal dari kedelai yang dihancurkan. Oleh orang-orang tionghoa, tahu ini dibawa masuk ke nusantara ini sekitar abad 10 masehi.
Sejarah Indonesia mencatat bahwa di abad 19 pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan cultuurstelsel(tanam paksa). Akibat penerapan tanam paksa ini, maka terjadilah krisis gizi yang di alami oleh penduduk Indonesia kala itu. Pada masa krisis asupan gizi inilah, tahu (dan juga tempe) menjadi penyelamat bagi orang-orang di Jawa dari krisis asupan gizi tersebut. Peran tahu ini tentu sangatlah masuk akal. Sebab menurut situs Healthline, tahu itu mengandung protein dan asam amino yang tinggi, lemak , karbohidrat, serta sejumlah vitamin.
Nah, mengingat sejarah tahu di Indonesia yang kira-kira telah berusia 12 abad ini, maka dapatlah di ambil maknanya bahwa tahu ini memiliki sifat membumi alias bisa masuk dan diterima ke semua kalangan serta menjadi sumber asupan gizi yang baik. Benar! Tahu menjadi makanan semua orang dari berbagai status sosial, mudah didapat, harganya murah, gizinya tinggi dan dapat dikonsumi oleh siapa saja – baik tua maupun muda.
Kisah tentang tahu ini mengingatkan tentang Rasul Paulus. Di dalam 1 Korintus 9, Rasul Paulus bersaksi bahwa untuk bisa me¬menangkan sebanyak mungkin orang, maka dia mesti dapat menyesuaikan diri dengan orang-orang yang hendak dia layani. Paulus bahkan menyebut dirinya sebagai hamba dari semua orang. Dia mengatakan, “Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang”. Dengan prinsip ini, maka Paulus menjadi seperti orang Yahudi bila yang dilayani adalah orang Yahudi; menjadi seperti orang bukan Yahudi bila yang dilayani adalah bukan orang Yahudi dengan berpegang teguh pada hukum Kritus. Tindakan yang dilakukan Paulus dalam memberitakan Injil ini merupakan wujud dari apa yang disebut dengan kontekstualisasi atau ‘pembumian’. Kepada semua orang, Rasul Paulus berkontekstualitasi, agar dapat memenangkan hati mereka yang dilayaninya.
Sebagai murid-murid Kristus, kita mesti belajar juga untuk dapat menyesuaikan diri dengan konteks yang ada di sekitar kita dengan tetap berpegang pada firman Tuhan. Dengan demikian, kita tidak akan terasingkan, tidak juga ikut arus, namun dapat menghadirkan berkat dan kasih Kristus. Melalui kehidupan kitalah, kita menyaksikan karakter Kristus kepada semua orang. Seperti tahu yang dapat masuk dan diterima semua kalangan serta menjadi sumber gizi yang baik; demikianlah seharusnya kehidupan kita di tengah-tengah masyarakat. Selamat berjuang, Tuhan Yesus memberkati!
Salam: Guruh dan keluarga.
Doa
Ya Tuhan, buatlah kami agar dapat menjadi berkat di manapun kami berada. Kiranya roh Kudus menolong kami. Terimakasih, Tuhan Yesus. Amin.