ADA CINTA DI DALAM LUMPIA
Views: 0
Bacaan: 1 Korintus 13: 4
“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong”.
Salam sehat penuh rahmat, Tuhan sertamu!
Lumpia atau terkadang dieja sebagai lun pia adalah sejenis jajanan tradisional Tionghoa. Lumpia ini merupakan makanan yang terdiri dari lembaran tipis tepung gandum sebagai pembungkusnya dengan isian yang terdiri dari rebung, telur, sayuran segar, daging dan atau makanan laut. Oh ya, pada tahun 2014 yang lalu lumpia telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya nusantara non bendawi.
Tahukah Anda bahwa lumpia yang kita kenal sekarang ini sesungguhnya tidak terlepas dari sejarah dan kisah cinta yang membungkus perjalanan makanan ini? Mungkin Anda bertanya, “memang ada kisah cinta apa di dalam lumpia?” Baik, saya akan menceritakannya. Sejarah lumpia di Indonesia tidak terlepas dari kemunculannya sekitar tahun 1800 di Semarang. Bermula dari kedatangan seorang perantau etnis Tionghoa bernama Tjoa Thay Yoe yang datang untuk mengadu nasib, sembari memperkenalkan dan berdagang lumpia.
Suatu kali, Tjoa Thay Yoe bertemu dengan seorang perempuan bernama Wasih. Wasih ini ternyata menjual makanan sejenis lumpia, namun isiannya adalah daging ayam ataupun udang. Berawal dari relasi dagang, maka lambat-laun cinta kasih diantara keduanya pun bertumbuh. Rasa cinta ini mendorong keduanya untuk saling belajar dan berbagi resep makanan termasuk lumpia ini. Singkat cerita, akhirnya keduanya pun menikah. Pernikahan ini tidak hanya memadukan dua hati beda budaya, namun juga memadukan cara pembuatan lumpia. Lumpia yang semula hanya ditujukan bagi kalangan keturunan Tionghoa dan Eropa ini, kemudian diolah sedemikian rupa agar bisa juga dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Komposisi lumpia yang sebelumnya hanya berisi olahan dari daging babi, akhirnya diganti dengan rebung, daging ayam atau udang.
Saudaraku, cinta akan mendorong seseorang untuk saling belajar memberi dan menerima dengan tulus. Cinta akan mendorong seseorang agar dapat mengerti dan memahami pihak lain tanpa kesombongan. Setidaknya kisah cinta di dalam sepotong lumpia ini telah membuktikannya.
Dalam sebuah nasihatnya kepada Jemaat Korintus, Rasul Paulus menyampaikan, “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong”. Sepanjang pelayanannya, Paulus telah belajar tentang kasih itu dari Kristus sendiri. Paulus menghayati bahwa kasih itu sabar seperti Allah yang sungguh-sungguh sabar mendidik dan mendampingi orang-orang yang dikasihi-Nya. Paulus juga menghayati bahwa kasih itu tulus hati. Di dalam ketulusan, maka kasih tidak akan memanipulasi sebuah hubungan atau menguasai orang lain. Kasih yang tulus ini akan membuat orang yang dikasihinya memiliki kesempatan luas untuk berkembang dalam pegalaman dan relasi dengan orang lain. Paulus juga belajar bahwa kasih itu tidak cemburu dalam artian bahwa kasih akan menjadikan mereka yang dikasihi itu bukan sebagai saingan yang harus dikalahkan. Dalam kasih yang tidak cemburu inilah kesediaan untuk saling belajar terbuka lebar. Oleh karena itulah, kasih juga tidak memegahkan diri dan tidak sombong.
Bagaimana jadinya apabila dunia ini tanpa kasih atau cinta? Rasanya kekacauan dan kehancuran dunia tinggal menunggu waktu saja. Oleh karena itu, mari mulai dari diri kita untuk memperjuangkan dan mewujudkan kasih dan cinta kepada sesama dan dunia. Kiranya sepotong lumpia dapat mengingatkan kita tentang kasih yang sejati. Selamat berjuang, Tuhan Yesus memberkati.
Salam: Guruh dan keluarga.
Doa:
Tuhan, kami telah merasakan kasih-Mu yang begitu tulus dan sempurna. Kami rindu untuk menjadi utusan yang menebarkan kasih. Kiranya Roh Kudus menolong kami. Terimakasih Tuhan Yesus. Amin.