SAPI ATAU AYAM?
Views: 0
Bacaan: Matius 5:16
“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga”
Salam sehat penuh rahmat, Tuhan sertamu!
Sebuah pengalaman menarik yang saya alami ketika bersama dengan teman-teman pendeta dan capen GKI Klasis Purwokerto melakukan perjalanan darat menuju ke Jogjakarta dalam rangka berangkat untuk mengikuti sebuah kegiatan di sana. Karena dari Purwokerto pukul 6.00 Wib, maka kami tidak sempat sarapan terlebih dahulu. Sekitar jam 9.00 Wib, kami telah sampai di daerah Wates Kulon Progo dan memutuskan untuk istirahat sejenak di sebuh warung soto sembari sarapan. Di warung tersebut ditawarkan soto daging sapi dan daging ayam.
Mulailah kami memesan soto sesuai dengan selera kami. Seorang rekan yang akan mencatatkan pesanan bertanya, “sapi berapa? Dan ayam berapa?” Nah, mendengar pertanyaan itu, kami langsung menyahut, “aku ayam…. aku sapi!” Setelah catatan jumlah pesanan diserahkan kepada pelayan, kami melanjutkan ngonbrol.
Tidak berapa lama, pesanan kamipun datang. Sekarang giliran pelayan bertanya, “ingkang sapi sinten, ingkan ayam sinten? – yang sapi siapa, yang ayam siapa?” Kami yang memesan soto sapi segera menyahut “aku mbak, aku sapi…!” Demikian pula dengan meraka yang memesan ayam berkata, “aku ayam, mbak!” Pelayan pun mengantar soto kepada kami sesuai dengan jenis pesanan. Sembari ngobrol tentang acara yang akan kami ikuti di Jogjakarta nanti, kami menikmati soto yang sudah disajikan.
Selesai sarapan, kami melanjutkan perjalanan ke Jogjakarta. Di dalam perjalanan itu, salah seorang teman bertanya kepada saya, “pak, sejak kapan awakmu dadi sapi? – sejak kapan kamu jadi sapi?” Saya menyahut, “Lho, ya pada karo awakmu, sejak kapan dadi pithik? – sama saja denganmu, sejak kapan jadi ayam” Sembari tertawa, kami pun saling mengolok bahwa kami ini rombongan sapi dan ayam. Sampai pada akhirnya, ada seorang rekan yang nyeletuk, “iya ya, gara-gara luwé, kabeh malih dadi sapi opo pithik – iya ya, gara-gara lapar, maka semua berubah menjadi sapi atau ayam”.
Pernyataan “gara-gara lapar, maka semua berubah menjadi sapi atau ayam” menyentak diri saya. Bukankah hal seperti itu yang seringkali terjadi. Kita bisa saja kehilangan jati diri sebagai anak-anak terang karena suatu dorongan atau keinginan sesaat yang nampak menarik dan enak? Seperti misalnya, karena tergiur oleh sejumlah rupiah, maka seseorang melakukan korupsi dan melupakan bahwa dirinya adalah anak Tuhan yang seharusnya menjadi terang.
Kerinduan Tuhan terhadap diri kita sangat tegas dan jelas, yaitu bahwa identitas sebagai anak-anak terang mesti selalu dinyatakan di manapun kita berada. Tuhan Yesus bersabda, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga”. Setiap orang Kristen dipanggil untuk hidup dengan sebaik mungkin, supaya Bapa dipermuliakan dan membuka kesempatan untuk orang lain datang kepada Kristus. Ketika kehidupan kita bertolak belakang dengan pengajaran yang tertulis dalam Alkitab, maka efeknya adalah diri kita tidak akan memuliakan Bapa di surga dan orang lain tidak akan tertarik untuk datang kepada Kristus.
Mari saudaraku, sudahkan kita menjadi anak-anak Tuhan yang menyatakan terang? Janganlah gara-gara “lapar”, maka kita berubah menjadi ‘sapi atau ayam’! Atau dengan kata lain, jangan karena keinginan daging, maka kita kehilangan jatidiri sebagai anak-anak terang. Selamat berjuang, Saudaraku, Tuhan Yesus memberkati!
Salam: Guruh dan keluarga.
Doa:
Terimakasih karena Engkau telah mengingatkan kami untuk selalu menyatakan diri sebagai anak-anak terang, ya Tuhan. Kiranya Roh Kudus menolong kami untuk mewujudkan identitas kami dengan sebaik-baiknya. Terpujilah Nama-Mu, ya Tuhan Yesus. Amin.