LAKU SONG, LAMU YÉ
Views: 0
Bacaan: Kejadian 3: 8
“Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman”.
Salam sehat penuh rahmat, Tuhan sertamu!
Suatu sore saat SMA dahulu, saya pernah menemani salah seorang teman yang baru belajar naik sepeda motor. Kami berdua berboncengan dan mengarahkan sepeda motor ke ‘Gunung Tugel’. Gunung Tugel adalah sebutan untuk sebuah bukit yang dipakai sebagai tempat pemakaman umum masyarakat Kutoarjo. Di lerengnya, masyarakat menjadikannya sebagai tegalan untuk menanam palawija termasuk ketela pohon. Waktu kami melewati tegalan tadi, tampak bahwa tanaman singkong sudah dipanen. Kami melihat ada beberapa butir singkong yang tertinggal. Oleh karena itu, kami berhenti dan berinisiatif membakar singkong tadi. Setelah beberapa saat, kami mengulak ulik singkong bakar tadi, dan saya berkata “laku song, lamu yé?” Terdengar seperti bahasa Perancis, bukan? Padahal maksudnya “télaku gosong, télamu piyé” (Singkongku gosong, kalau singkongmu bagaimana?). Bagi kami, ‘laku song, lamu yé’ mengingatkan tentang saat refreshing setelah pagi dan siang hari menghadapi ulangan di sekolah.
Sepertinya, memang tidak dapat disangkal bahwa manusia adalah makhluk bermain – alias homo ludens. Ketika Johan Huizinga memunculkan konsep tentang homo ludens ini di tahun 1938, ia berpendapat bahwa bermain (playing) itu tidak kalah pentingnya dari dua kegiatan manusia lainnya, yakni berpikir & bekerja (homo sapiens & homo faber). Dan bila ditelisik lebih jauh, konsep tentang homo ludens ini, terinspirasi dari pandangan tentang ‘Deus ludens’, yaitu konsep gambaran tentang karakter Tuhan / Dewa yang bermain atau bersenang-senang. Gambaran tentang ‘Deus ludens’ ini tidak hendak mengatakan Tuhan yang benar-benar santai tanpa melakukan apapun, melainkan merupakan keseluruhan bagian dari karya Tuhan yang juga terus berkarya.
Gambaran tentang ‘Deus ludens’ ini dapat dilihat dalam fragmen tentang pemberontakan manusia kepada Tuhan seperti di kisahkan dalam Kejadian 3. Setelah manusia makan buah pengetahuan dan menyadari ketelanjangannya, lalu mereka segera membuat pakaian sementara dari daun ara. Namun ketika mendengar langkah Tuhan, mereka takut dan bersembunyi. Alkitab menyaksikan, “Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman”. Prof. Singgih menjelaskan bahwa frasa ‘berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk’ ini menunjukkan adanya kebiasan Tuhan yang berjalan-jalan di kebun di sore hari. Secara rutin, Tuhan mengunjungi taman Eden untuk bersenang-senang dan bercengkrama dengan manusia pertama. Di dalam fragmen inilah kita dapat melihat gambaran persekutuan yang indah sekaligus menunjukkan aspek Tuhan sebagai Allah yang suka bermain, bersenang-senang, bersantai – Deus Ludens (Singgih, 2011, hal. 110). Itu berarti bahwa bila Allah adalah Deus Ludens, maka sudah seyogyanya bila manusia adalah homo ludens. Sekali lagi ludens ini sebagai penyeimbang dari faber dan sapiens (berkarya dan berpikir). Bukankah kita memang perlu untuk refresh sejenak dalam rangka rehat setelah lelah berpikir dan berkarya?
Kenangan tentang “laku song, lamu yé?” ini menghidupkan kembali ingatan agar kita tidak terjebak menjadi workaholic. Karena homo faber seharusnya berada seimbang dengan homo ludens. “Laku song, lamu yé?” – Telaku gosong, telamu piyé? Selamat berjuang, Saudaraku, Tuhan Yesus memberkati!
Salam: Guruh dan keluarga.
Doa:
Terimakasih Tuhan karena Engkau mengingatkan kami untuk memiliki waktu rehat di tengah kesibukan kami. Dengan demikian kami dapat menjaga kesimbangan di dalam kehidupan ini. Terpujilah nama-Mu, ya Tuhan. Amin.