TAK MENGAPA MEMILIH DIAM
Views: 0
Bacaan: Lukas 23: 39-46
Kadang kita menyangka bahwa diri kita baru berharga bahwa jika kita banyak bicara, banyak mengeluarkan ide, banyak berkata-kata. “Bagaimana orang lain dapat mengerti jika saya tak menjelaskannya dengan panjang lebar?”. Demikian kita katakan pada diri sendiri. “Bagaimana mereka memahami saya, jika saya tak mengatakannya?” Demikian kita menuntut diri kita sendiri. “Bagaimana saya dapat membuatnya mengerti?”, Demikian kita memacu diri. Semua ini dapat menyedot energi diri kita sendiri, karena tidak semua berjalan baik. Karena ternyata bergantung pada kekuatan dan kemampuan kita untuk menularkan atau menyalurkan kebaikan Tuhan, itu tak cukup.
Namun pernahkah kita mengalami atau menyadari bahwa pengertian, penerimaan, dan pertumbuhan orang lain tentang siapa, apa, dan bagaimana mereka dan kita, juga sangat dipengaruhi oleh pilihan mereka sendiri (yang juga dapat mereka tak sadari) namun mereka mengatakan bahwa kitalah penyebabnya)?.
Dalam kondisi seperti ini, kita perlu kembali melihat dan bertanya kepada diri kita, apakah segala tindakan dan perbuatan kasih yang kita tunjukkan bagi mereka, tujuannya adalah untuk siapa? Sering kita salah arah, bahwa semua nya itu untuk mendapatkan _feedback_dari mereka bahwa kita baik, hebat atau berhasil. Bukan salah jika mendapat masukan baik dari orang di sekitar kita. Namun jika kita hanya mendapat kepuasan dan kebahagiaan dari orang-orang di luar diri ini, maka kita akan mengalami ketidak puasan dan ketidak bahagiaan. Pasalnya adalah mereka semua berbeda satu dengan yang lain. Mereka juga adalah manusia yang memiliki latar belakang dan persolannya masing-masing yang dapat saja tak kita mengerti/ketahui sehingga sikap dan pilihan _feedback_itu tergantung kondisi mereka juga.
Dalam kerangka demikian tadi, saya ingin mengajak kita untuk menemukan kebahagiaan dan kekuatan bukan dari pihak luar diri kita, melainkan kita dapat menemuman kekuatan dan kebahagiaan dari dalam diri kita sendiri, yang tak dikuasai oleh pihak luar. Mengapakah demikian? Sebagai orang beriman, kita menemukan dan menerima juga meyakini bahwa kebesaran, kasih dan kuasa Allah, telah ditemukan oleh diri ini, diri saudara sendiri. Meskipun ada banyak pihak yang ikut berperan dalam penemuan diri tentang kebesaran,kasih dan kuasa Tuhan, namun diri kita sendirilah yang memutuskan karena telah melihat dan merasakan kebesaran, kasih dan kuasa Allah itu. Oleh karena itu, diri kitalah yang seharusnya menjadi sosok terbesar yang membuat kita memilih kebahagiaan dan kekuatan, bukan sosok orang lain.
Sosok lain yang terbesar, yang berpengaruh sangat, sehingga kita dapat melihat diri yang dipenuhi oleh syukur, kekuatan dan kebahagiaan adalah Allah sendiri. Hal inilah yang ditunjukkan oleh Tuhan Yesus ketika Ia berdoa di taman Getsemani. Ketika semua nya telah Ia lakukan untuk melakukan panggilaNya, ada saat dimana tak seorang pun dapat Ia andalkan mengerti dan mendukungNya penuh. Hal indah yang Ia lakukan adalah silent dan berdoa. Dalam doa taman Getsemani itu, Ia mengambil saat silent yang ungkapan hati dan pikirannya tak Ia sampaikan pada murid-muridnya (baca: orang lain). Saat silent itu, Ia hanya menyampaikan semua isi hatinya, baik yang dapat terangkai kata-kata, maupun yang tidak. Disanalah sumber kekuatan hadir, melalui perenungan diri yang jujur karena mengakui kelemahan/ketidak mampuan, namun yang bersamaan dengan itu juga tetap mau bertahan dan kuat untuk mengikuti panggilan Allah. (Ini dapat kita lihat dari kalimat doanya “kalau boleh cawan ini lalu dari pada Ku, namun bukan kehendakKu melainkan kehendakMu lah yang terjadi”.
Menelisik apa yang Tuhan Yesus teladani, maka kita juga menyimpulkan bahwa kita tidak akan melulu menempel/bergantung pada orang lain untuk menemukan kekuatan dan kebahagiaan kita. Mereka memiliki persoalan yang mereka hadapi sendiri. Kita perlu merespon dan melihat lebih dalam, bagaimana keadaan diri kita sendiri juga. Apakah sumber kekuatan dan bahagia kita, kita miliki dari dalam diri kita sendiri?. Menghargai dan melihat ke dalam diri menjadi lebih dalam lagi ketika kita menyadari bahwa Allah sumber kekuatan dan kebahagiaan kita bersama dengan diri ini, Allah dekat dan tak pernah jauh dari kita.
Jadi, tak apa mengambil saat diam. Mungkin kita sangat membutuhkan saat diam itu bagi diri kita, untuk lebih kuat, lebih bersyukur, karena diri ini lah yang paling dekat dengan dirimu sendiri ini. Dalam “diam” kita dapat menemukan, ternyata diri ini telah berharga dan banyak berkorban untuk mu. Berterima kasihlah pada dirimu yang kuat, bersyukur lah akan adanya diri sendiri ini. Dan katakanlah pada diri mu, bahwa sesungguhnya kau tak pernah sendiri, karena ada Allah, sumber kekuatan kebahagiaan yang selalu hadir bersamamu. (LiN28092021)