AKU ADALAH BIJI KECIL ITU
Views: 0
Bacaan: Matius 13: 31-32
Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya: “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya. Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya.”
Salam Sukacita dalam Tuhan Yesus Kristus bagi sahabat semua: bapak-ibu, para muda dan para anak.
Senang bisa hadir menjumpai sahabat semua dalam Renungan Harian GKI Kwitang, bersama saya, Pdt Lindawati Niman.
Sahabat, apakah pernah merasa bahwa kita begitu kecil dan tidak berharga. Ketika kita memperhatikan diri sendiri, lalu kita menyimpulkan bahwa saya tak punya apa-apa dan tak bisa apa-apa. Tak ada apapun yang dapat saya berikan dan bagikan bagi dunia di sekitar yang begitu luas dan besar. Saya cuma sebuah biji yang mudah berdegup jantungnya karena takut dan kuatir akan kehidupan ini.
Sahabat kebiasaan diri yang berpikir dan lalu merasa tak berdaya dan tak berharga inilah yang seringkali justru menghambat diri kita sendiri untuk bisa “ke luar” dan berguna bagi dunia di sekitar kita. Dalam hubungan dengan bacaan kita, seringkali kita ini bagai biji sesawi, yang tergeletak di atas mangkuk. Biji kecil yang tak berdaya karena kecil dan tak berguna. Untuk apa biji sekecil itu sebelum ditanam? Tak ada faedahnya, bahkan diberikan pada burung pun jika hanya sebiji, tak akan memberi kenyang pada si burung. Nah begitulah kita yang berpikiran dan merasa diri sebagai kecil.
Berbalik dengan berpikir dan merasa kecil adalah berpikir dan merasa berguna. Ini bukan persoalan bahwa lalu kita sebagai biji tiba-tiba menjadi buah segar, ranum, dan harum baunya, membuat air liur menetes bagi setiap yang ada di sekitar nya, sehingga banyak orang yang memperhatikan dan menginginkannya. Berpikir dan merasa berguna adalah bagai biji sesawi yang terkecil itu, namun ia mengetahui bahwa tujuan dirinya ada dalam hidup ini adalah menghasilkan buah, namun sebelum sampai pada saatnya ia berbuah , ia harus melewati taham yakni ditanam, busuk, dan tumbuh, semakin besar barulah nanti berguna bagi yang di sekitarnya. Ditanam, berarti bahwa sebuah biji harus rela menerima diri yang mesti dikubur. Dan membiarkan kuasa Tuhan menumbuhkan dan membuat nya berkembang. Pada masa itu, biji membiarkan kulit kerasnya dilepas dan ditanggalkan, mungkin di sana ada kesakitan dan keluh kesah, namun lalu membiarkan diri menerima segala bentuk tubuh baru; batang, daun yang semakin hari semakin kuat sampai tiba saatnya ia memberi diri menjadi tempat bagi mahluk lain (baca: burung) untuk berteduh dan lalu mendapat kekuatan baru.
Demikianlah kita diajak untuk memiliki panggilan dalam hidup ini, yakni bagaimana kita dapat menjadi berguna bagi dunia di sekitar kita. Karlina Supeli berkata: kita seharusnya memiliki prinsip hidup Ad Maiora Natus Sum artinya lahir untuk hal2 besar. Apa itu? hidup lebih dari kepentingan dirimu sendiri, lebih dari kepentingan 4 tembok rumahmu, sebesar/seluas langit, dunia, bumi shg disitu lah kamu berkarya. Kita terpanggil untuk melahirkan orang dg kesadaran “saya bisa berbuat lebih”, itu dikejar terus. Jangan pernah takut. Mungkin dia tergelincir, namanya jg manusia. Ttp ia bangun lagi.” Dengan itu kita juga diingatkan akan panggilan kita untuk selalu tertuju pada panggilan kita bagi dunia di sekitar kita. Ini tentu tak boleh membuat kita hina dan tak berdaya karena hanya sebagai biji. Namun kita juga percaya pada kebesaran dan kekuasaan Tuhan yang dapat terjadi melalui kita. Kita adalah biji yang ada di tangan Tuhan. Jika kita mengalami kesakitan, kelemahan, ketidakberdayaan, kita akan tetap bangkit. Denga pengalaman melepaskan kulit lalu tumbuh, walau itu sakit, kita take menyerah. Kita akan bergantung pada Tuhan yang memberikan pertumbuhan itu. Dan membuat kita menjadi alat kebaikanNya; kita adalah alat di tangan Tuhan.
Kini mari kita merenungkan: apakah pilihan sikap dan perbuatan kita adalah tertuju sebagai alat di tangan TUHAN, ataukah alat bagi dirimu sendiri? Dan membiarkan mereka mengalami sakitnya, derasnya, kacaunya angin dan hujan yang menimpa mereka. Apakah selama kau aman, kau akan tetap bergeming dalam cangkang biji? Tak pedulikah akan kehancuran dan kerusakan yang diterima sahabat-sahabatmu?
Mari kita perbaharui lagi panggilan kita, bahwa kita akan membiarkan diri mengalami ditanam, bertumbuh agar sabahat lainnya mendapatkan kekuatan dan pengharapan dengan kehadiran kita. Kita adalah biji sesawi yang ditanam dan tumbuh untuk menjadi alat di tangan Tuhan agar mereka juga merasakan kehidupan yang berpengharapan.
(LiN-RH, 06-09-2023)