CIKINI-GONDANGDIA
Views: 0
Bacaan: Lukas 6:41-42 – TB2
“Mengapakah engkau melihat serpihan kayu di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui? … Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, setelah itu akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan serpihan kayu itu dari mata saudaramu”.
Salam sehat penuh rahmat, Tuhan sertamu!
Salah satu hal yang paling membedakan antara manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah kemampuanya berpikir. Dengan kemampuan ini, maka manusia bisa memilih dan menilai segala sesuatu serta membentuk moral dan etika sehingga menjadikan manusia sebagai makhluk yang beradab. Hanya saja, bagaimana kita dapat menggunakan kemampuan berpikir itu secara kreatif dan kritis agar terhindar dari sikap sekedar ikut arus?
Sebagai contoh, ketika ada sebuah berita yang didengarnya, apakah seseorang akan menerima dan memercayai berita itu begitu saja sebagai sebuah kebenaran atau mengonfirmasi kebenaran berita tersebut? Adakalanya orang bersikap hanya sekedar mengikuti padangan orang lain di sekitar atau sekedar mengikuti kebiasaan umum yang sedang tren. Karena hanya ikut-ikutan, maka seseorang kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis. Padahal berpikir kritis terhadap hal-hal; seperti: berita, pandangan, ajaran, sikap, bahkan isi khotbah sekalipun; sangatlah diperlukan supaya tidak mudah terjebak pada asumsi, penilaian yang subjektif atau sikap mudah untuk menghakimi orang lain.
Apakah berpikir kritis itu? John Dewey – seorang pakar pendidikan – mendefinisikan ‘berpikir kritis’ sebagai “proses aktif”. Maksudnya adalah proses dimana seseorang memikirkan pelbagai hal secara lebih mendalam, mengajukan berbagai pertanyaan dan menemukan informasi yang relevan bagi dirinya. Berpikir kritis merupakan kontras dari “proses pasif” di mana seseorang hanya menerima begitu saja gagasan-gagasan dan / atau informasi dari orang lain.
Lantas apa bedanya dengan berpikir negatif? Kalau berpikir negatif, maka seseorang akan cenderung selalu mencurigai sesuatu, dengan mencari apa yang salah. Setelah menemukannya, kemudian mengangkatnya ke permukaan. Jadi jelas di sini bahwa berpikir kritis sangat berbeda dengan berpikir negatif. Berpikir kritis tidak untuk saling menyerang dan menjatuhkan atau menganggap diri sendiri paling benar, melainkan saling memperhatikan dan menopang di dalam kasih demi kebaikan bersama.
Berpikir kritis itu mesti dimulai dengan berani mengritisi diri sendiri dahulu. Tuhan Yesus pernah mengatakan, “Mengapakah engkau melihat serpihan kayu di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui? … Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, setelah itu akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan serpihan kayu itu dari mata saudaramu”. Sebelum kita berpikir kritis untuk orang lain memang lebih baik kita berpikir kritis untuk diri sendiri terlebih dahulu.
Oke, kita akan menguji apakah kita menggunakan proses aktif atau pasif di dalam berpikir. Mari kita mencobanya. “Dari Cikini ke Gondangdia (cakep), naik bajaj bayar sejuta (cakep)”. Lho..lho..lho… mengapa Anda masih merespon dengan mengatakan ‘cakep!’, padahal itu adalah kasus pemalakan. Saya itu dirampok! Masa dari Cikini ke Gondangdia mesti bayar sejuta? Ha..ha..ha.. Mari kita berpikir kritis. Selamat berjuang, Saudaraku, Tuhan Yesus memberkati!
Salam: Guruh dan keluarga.
Doa:
Ya Tuhan, kami rindu agar mampu berpikir kritis sehingga tidak terjebak pada asumsi, sikap menghakimi atau subyektifitas. Kiranya Roh Kudus menolong kami agar dapat mengkritisi diri kami sendiri. Terimakasih Tuhan Yesus, Amin.