YANG PALING BESAR ADALAH KASIH
Views: 0
Bacaan: 1 Korintus 13: 8–13
Salam sejahtera bagi kita semua, Kiranya damai sejahtera dari Allah menyertai setiap langkah hidup kita. Semoga hari demi hari kita semakin menyadari kebenaran yang ditulis oleh Rasul Paulus: bahwa kasih adalah yang paling besar di antara iman dan pengharapan (1 Korintus 13:13).
Tanpa iman, mustahil seseorang menerima keselamatan dalam Yesus Kristus yang telah berkorban bagi kita. Iman adalah pintu masuk kepada anugerah.
Tanpa pengharapan, manusia kehilangan daya tahan untuk terus melangkah dengan sabar dan tekun dalam menghadapi penderitaan, tantangan, dan ketidakpastian. Pengharapan adalah jangkar yang meneguhkan jiwa.
Namun di atas semuanya itu: tanpa kasih, semua menjadi sia-sia.
Tanpa kasih, tidak ada persekutuan sejati di antara orang percaya.
Tanpa kasih, keutuhan dalam relasi suami-istri mudah retak.
Tanpa kasih, hubungan antara orang tua dan anak menjadi kering.
Tanpa kasih, masyarakat kehilangan tali sosial yang mempersatukan.
Kasih adalah inti dari kehidupan Kristen. Bukan sekadar kata, tetapi perbuatan. Kasih yang rela memberi, mengampuni, dan melayani tanpa pamrih. Kasih yang bersumber dari Allah, yang telah lebih dahulu mengasihi kita.
Kiranya kita tidak hanya memegang iman dan pengharapan, tetapi juga bertumbuh dalam kasih yang nyata setiap hari — kepada Tuhan dan sesama.
Namun, mari kita renungkan lebih dalam. Apa yang terjadi bila Tuhan — Pribadi yang menjadi pusat dari iman, pengharapan, dan kasih — dihilangkan?
Apakah Masih Ada Iman Jika Tuhan Tidak Ada?
Menurut Ibrani 11:1, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.”
Iman Kristen memiliki tiga ciri utama:
Relasional – Iman bukan kepercayaan abstrak, tetapi relasi dengan Allah yang hidup.
Transenden – Iman mengarah pada realitas kekal di luar dunia ini.
Bersumber dari Wahyu – Iman diberikan oleh Allah melalui Firman dan Roh Kudus, bukan hasil spekulasi manusia.
Tanpa Tuhan, iman kehilangan objeknya. Tidak ada Pribadi untuk dipercaya. Maka iman berubah menjadi optimisme buta — harapan tanpa dasar.
Iman Kristen mustahil tanpa Allah. Tanpa penyataan-Nya, tidak ada iman yang menyelamatkan.
Renungan ini mengajak kita untuk meneguhkan kembali iman kita, bukan pada kekuatan diri, tapi pada Allah yang setia. Sebab tanpa Tuhan, tidak ada iman. Tanpa iman, kita kehilangan arah. Tapi dengan Tuhan, iman menjadi terang di tengah gelap, jangkar dalam badai, dan kekuatan dalam kelemahan.
Bagaimana dengan Pengharapan Tanpa Tuhan?
Dalam dunia sekuler, pengharapan sering bergantung pada:
Kemajuan teknologi
Moralitas bersama
Solidaritas kemanusiaan
Namun semua ini fana dan terbatas. Tidak ada jaminan keadilan abadi. Tidak ada hidup kekal. Sebaliknya, pengharapan Kristen berakar pada kebangkitan Kristus (1 Petrus 1:3). Ini adalah pengharapan yang tidak akan mengecewakan. Ia kekal dan tidak terguncangkan oleh dunia.
Tanpa Tuhan, Apakah Masih Bisa Mengasihi?
Kasih kepada Tuhan? Tidak mungkin. Karena “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” (1 Yoh. 4:19)
Kasih kepada sesama? Masih mungkin, tapi sering bersifat terbatas, bersyarat, dan tidak transenden.
Kasih sejati dalam kekristenan adalah kasih yang berasal dari Allah. Kasih yang tidak mencari keuntungan, tetapi rela berkorban seperti salib Kristus.
Contoh Iman, Harapan, dan Kasih yang Salah: Yudas
Yudas adalah contoh seseorang yang memiliki arah spiritual yang salah:
Iman yang salah – Ia mungkin percaya pada Mesias politik, bukan Mesias penyelamat.
Harapan yang salah – Ia mengharapkan keuntungan duniawi (30 keping perak).
Kasih yang salah – Ia lebih mencintai uang daripada Yesus (Yoh. 12:6).
“Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan…” (Mat. 6:24)
Yudas kehilangan kasih yang sejati dan tidak kembali. Ia putus asa dan mengakhiri hidupnya.
Petrus: Iman, Harapan, dan Kasih yang Belum Matang
Petrus berkata dengan berani: “Aku akan memberikan nyawaku bagi Engkau!” (Yoh. 13:37), tetapi akhirnya menyangkal Yesus tiga kali.
Imannya goyah karena takut.
Harapannya rapuh karena ambisi manusiawi.
Kasihnya tulus, tapi belum rela berkorban.
Namun setelah kebangkitan Yesus, Petrus dipulihkan (Yoh. 21:15–17). Kasihnya dimurnikan. Iman dan pengharapannya diteguhkan. Ia menjadi saksi Kristus sampai mati.
Refleksi Penutup: Yang Paling Besar adalah Kasih
Yudas dan Petrus sama-sama jatuh.
Perbedaannya? Petrus kembali dalam kasih, Yudas memilih putus asa.
Kasih adalah kekuatan yang membawa seseorang kepada pertobatan dan pemulihan.
Hari ini, mari bertanya:
Apakah kasihku kepada Yesus hanya sebatas mulut, seperti Petrus sebelum bertobat?
Apakah aku memberi tempat bagi iblis, seperti Yudas?
Apakah aku mengasihi Yesus lebih daripada diriku sendiri, uang, atau kenyamanan?
“Demikianlah tinggal ketiga hal ini: iman, pengharapan, dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.”
(1 Korintus 13:13)
Kita bersyukur kepada Tuhan, karena Roh Kudus telah memberi kita bahasa dunia yang baru — bahasa yang menyatukan, menguduskan, dan menghidupkan. Bahasa ini menjadikan iman, pengharapan, dan kasih kita semakin berseri, sebagaimana dinyanyikan dalam lirik lagu KJ 233: Roh Kudus, Turunlah: Bait 3 Syukur pada-Mu, Roh Kudus, yang sudah memberi bahasa dunia baru yang sempurna dan suci. Jadikanlah semakin berseri iman dan pengharapan serta kasih yang bersih.
Doa:
Tuhan, ajarlah kami untuk tidak hanya hidup dalam iman dan pengharapan, tetapi bertumbuh dalam kasih yang sejati — kasih yang berasal dari-Mu. Teguhkan iman kami, kuatkan pengharapan kami, dan penuhilah hati kami dengan kasih-Mu yang kekal. Dalam nama Yesus, kami berdoa. Amin.