IMAN DALAM PENDERITAAN
Views: 0
Bacaan: Mazmur 22: 1–10
Salam Sejahtera, semoga kita makin bertumbuh iman, walau kita mengalami penderitaan, seperti dialami pemazmur, yang merasakan penderitaan tapi tetap berseru kepada Tuhan siang dan malam, walau tidak mendapat jawaban dari Tuhan (Mazmur 22:3 Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang.
Sikap iman pemazmur menjadi contoh dalam hidup sehari hari kita, yaitu sikap iman yang tidak meninggalkan Allah, walau doa kita dalam menghadapi penderitaan, tidak dijawab Tuhan.
Iman dalam hidup sehari-hari menjadi pembahasan dalam Minggu Biasa. Minggu Biasa adalah minggu setelah Minggu Trinitas. Istilah “biasa” di sini bukan berarti tidak penting, melainkan berasal dari kata Latin “ordo”, yang berarti tertib atau urutan. Minggu Biasa adalah masa dalam kalender gerejawi yang berjalan secara tertib tanpa perayaan besar seperti Natal, Pra Paskah, Paskah, Kenaikan Tuhan Yesus, Pentakosta. Dalam Minggu Biasa yang digumuli tentang pertumbuhan Iman dalam hidup sehari-hari, menekankan pemuridan yang terus-menerus, pembentukan karakter. Fokusnya bukan pada peristiwa luar biasa, tetapi pada kesetiaan menjalani hidup harian bersama Kristus.
Warna Liturgi adalah hijau, sebagai simbol pertumbuhan, harapan, dan kehidupan, mencerminkan proses bertumbuhnya iman umat dalam bimbingan Roh Kudus.
Melalui Mazmur 22, kita belajar beriman dalam kenyataan hidup yang mengalami penderitaan sangat berat, paling menyayat hati dan paling menggugah secara spiritual. Mazmur ini dimulai dengan seruan tajam yang tidak asing bagi siapa pun yang pernah mengalami penderitaan yang dalam: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Inilah jeritan keterasingan spiritual yang mendalam—pengalaman batin ketika seseorang merasa Tuhan tidak hadir, ketika langit tampak tertutup rapat, dan doa bergema dalam kekosongan.
Namun yang mengejutkan, pemazmur tidak menyerah. Ia tetap menyapa Tuhan dengan sebutan “Allahku”, sebuah ungkapan relasi dan iman, sekalipun disertai rasa kecewa dan duka yang pekat. Di sinilah kekuatan iman yang sejati diuji dan dibuktikan—bukan dalam kelimpahan atau kenyamanan, melainkan di tengah kegelapan dan keheningan rohani.
Mazmur ini memiliki dimensi yang sangat dalam karena Yesus sendiri mengutip ayat ini ketika tergantung di kayu salib. Dalam Matius 27:46 dan Markus 15:34, Yesus berseru: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” Dengan itu, penderitaan pemazmur dipahami sebagai bayangan penderitaan Mesias, dan pengalaman keterasingan spiritual menjadi jalan partisipasi dalam penderitaan Kristus.
Pemazmur mengalami ketegangan batin yang nyata. Di satu sisi, ia mengingat kesetiaan Tuhan yang telah menolong nenek moyangnya—Tuhan yang mereka percaya dan yang menyelamatkan mereka. Tapi di sisi lain, ia sendiri tidak merasakan pertolongan itu dalam situasi yang sedang ia hadapi. Ia seperti berada di ambang maut, dikepung musuh, diejek oleh orang-orang yang menyaksikan penderitaannya, dan kehilangan harga diri. Namun, ingatan akan kasih Tuhan yang menyertainya sejak dalam kandungan memberinya kekuatan untuk tetap berharap. Ia tahu bahwa Tuhan telah menjadi Allahnya sejak ia lahir. Maka, ia tetap memohon: “Janganlah jauh dariku.”
Mazmur ini menunjukkan bahwa iman bukanlah kebal dari penderitaan, melainkan iman adalah keberanian untuk tetap berseru kepada Allah di tengah ketiadaan jawaban. Iman bukan sekadar merasakan kehadiran Tuhan, melainkan memilih untuk tetap percaya walau Tuhan tampak diam.
Dalam pengalaman spiritual, momen ini sering disebut sebagai “malam gelap jiwa”—suatu fase di mana Tuhan seperti menyingkirkan segala penghiburan rohani, bukan untuk meninggalkan, tetapi untuk memurnikan iman kita. keterasingan spiritual adalah jalan pendewasaan, saat jiwa belajar mengasihi Tuhan bukan karena kenyamanan, tetapi karena siapa Dia sebenarnya. Ketika kita tidak merasakan penghiburan dari siapapun, kita tetap berharap pada Tuhan, kita tetap berseru pada Tuhan. Orang yang tidak berharap pada Tuhan, tidak berseru pada Tuhan akan cepat putus asa dan mengakhiri hidupnya, merusak hidupnya.
Kita belajar dari pemazmur yang tidak berhenti pada ratapan. Setelah menyampaikan segala penderitaan dan pergumulannya, ia mengakhiri mazmurnya dengan seruan pujian dan pengharapan. Ia membayangkan masa depan di mana seluruh bangsa akan datang memuji Tuhan, dan anak cucu akan mengenang karya keselamatan-Nya. Ini bukan sekadar penghiburan personal, tetapi penegasan bahwa penderitaan orang percaya mengalir dalam arus besar karya keselamatan Allah yang universal, yang mencakup semua bangsa dan segala generasi.
Bagi kita hari ini, Mazmur 22 menjadi cermin yang jujur atas pengalaman spiritual yang tidak selalu indah, tetapi sangat nyata. Ketika kita merasa ditinggalkan, ketika doa-doa tidak terjawab, ketika iman terasa kering dan hampa, ingatlah bahwa Yesus pun pernah ada di sana. Dan dalam solidaritas-Nya, kita diberi kekuatan untuk bertahan.
Maka, janganlah berhenti berseru. Jangan berhenti berharap. Karena sekalipun Tuhan terasa jauh, Dia tidak pernah benar-benar meninggalkan. Dalam sunyi, Ia tetap hadir. Dalam luka, Ia sedang bekerja. Dalam kematian, Ia sedang menyiapkan kebangkitan.
Tuhan tidak mengecewakan kepercayaan yang tulus. Dalam penderitaan yang berat pun, pemazmur tetap yakin bahwa Allah adalah penyelamat. Ini menjadi undangan bagi kita untuk tidak kehilangan harapan, meski dalam kegelapan hidup.
Dalam badai hidup kita berpegang teguh, bersandar pada Yesus. Yesus harapan setiap saat seperti lirik lagu NKB. 123 ayat 1 Dalam badai hidupku Yesus ‘ku pegang teguh. Walau imanku lemah, ‘ku bersandar padaNya. Reff Yesuslah harapanku tiap saat hidupku; Apa jua menerpa, ‘ku bersandar padaNya.
Berdoa:
Ya Tuhan, saat Tuhan terasa jauh dan hidup terasa berat, kuatkan kami untuk tetap berkata, “Allahku.” Di tengah sunyi, jadikan iman kami teguh. Biarlah penderitaan mendekatkan kami pada salib Kristus, dan dari sana, kami menemukan pengharapan yang tak tergoyahkan. Dalam nama Yesus, kami berserah. Amin.